A. Pengertian Filologi
1.
Etimologi Kata Filologi
Filologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani philologia.
Philologia berasal dari dua kata, yaitu philos yang berarti ‘teman’
dan logos yang berarti ‘pembicaraan atau ilmu’. Berdasarkan
etimologinya, dua kata tersebut kemudian membentuk arti ‘senang berbicara’ atau
‘senang ilmu’. Arti ini kemudian berkembang menjadi senang belajar, senang
kepada ilmu, dan senang kepada hasil-hasil karya-karya tulis yang bermutu
tinggi, seperti karya sastra.
2.
Istilah Filologi
Filologi sebagai istilah, pertama
kali diperkenalkan oleh Erastothenes, dan
kemudian dipergunakan oleh sekelompok ahli dari Iskandariyah sejak abad
ke-3 S.M. Sekelompok ahli ini bekerja dengan tujuan untuk menemukan bentuk asli
teks-teks lama Yunani, dengan jalan menyisihkan kesalahan-kesalahan yang
terdapat di dalamnya. Sebagai istilah, filologi mempunyai definisi yang sangat
luas, dan selalu berkembang.
a.
Filologi sebagai Imu
Pengetahuan
Filologi pernah disebut sebagai L’etalage
de savoir ‘pameran ilmu pengetahuan’. Hal ini dikarenakan filologi membedah
teks-teks klasik yang mempunyai isi dan jangkauan yang sangat luas. Gambaran
kehidupan masa lampau, berserta segala aspeknya, dapat diketahui melalui kajian
filologi. Termasuk di dalamnya, berbagai macam ilmu pengetahuan dari berbagi
macam bidang ilmu.
b.
Filologi sebagai Ilmu Sastra
Filologi juga pernah dikenal
sebagai ilmu sastra. Hal ini dikarenakan adanya kajian filologi terhadap
karya-karya sastra masa lampau, terutama yang bernilai tinggi. Kajian filologi
semakin merambah dan meluas menjadi kajian sastra karena mampu mengungkap
karya-karya sastra yang bernilai tinggi.
c.
Filologi sebagai Ilmu Bahasa
Teks-teks masa lampau yang dikaji
dalam filologi, menggunakan bahasa yang berlaku pada masa teks tersebut
ditulis. Oleh karena itu, peranan ilmu bahasa, khususnya linguistik diakronis
sangat diperlukan dalam studi filologi.
d.
Filologi sebagai Studi Teks
Filologi sebagai istilah, juga
dipakai secara khusus di Belanda dan beberapa negara di Eropa daratan. Filologi
dalam pengertian ini dipandang sebagai studi tentang seluk-beluk teks, di
antaranya dengan jalan melakukan kritik teks.
Filologi dalam perkembangannya yang
mutakhir, dalam arti sempit berarti mempelajari teks-teks lama yang sampai pada
kita di dalam bentuk salinan-salinanya dengan tujuan menemukan bentuk asli teks
untuk mengetahui maksud penyusunan teks tersebut. Filologi dalam arti luas
berarti mempelajari kebudayaan, pranata, dan sejarah suatu bangsa sebagaimana
yang terdapat dalam bahan-bahan tertulis.
Mario Pei dalam bukunya yang berjudul Glossary of
Linguistic Terminology (1966) memberikan batasan bahwa filologi merupakan
ilmu dan studi bahasa yang ilmiah seperti yang disandang oleh linguistik pada
masa sekarang, dan apabila studinya dikhususkan pada teks-teks tua, filologi
memperoleh pengertian semacam linguistik historis (Baried, 1985: 3).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993: 277)
istilah filologi diartikan sebagai ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata,
dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat di bahan-bahan tertulis.
Berbicara mengenai filologi, Soebadio (1991: 3) menyatakan bahwa filologi
adalah teknik telaah yang menyangkut masalah-masalah dalam naskah lama.
Filologi juga dapat diartikan sebagai telaah sastra (kesusastraan) dan ilmu
(disiplin) yang berkaitan dengan sastra atau bahasa yang dipakai dalam karya
sastra. Tetapi dalam perkembangannya telaah dengan teknis filologi kemudian
mendapat arti jangkauan yang lebih luas, yaitu dihubungkan dengan masalah-masalah
kebahasaan secara umum, termasuk bidang-bidang yang kini digolongkan bidang
linguistik, seperti tata bahasa, semantik, perubahan sandi, dan lain-lain.
Dewasa ini pengertian filologi telah menjadi lebih luas dan terarah, yaitu
meliputi telaah mengenai bahasa yang digunakan manusia (human speech), terutama
bahasa sebagai wahana sastra dan sebagai bidang studi yang dapat memberi
kejelasan mengenai sejarah kebudayaan (Soebadio, 1991: 3).
Sedangkan
Morgan L. Walters dalam Mulyani (1996: 109) menyatakan bahwa filologi adalah:
The study of the origin, relationship, development, etc. of
language. ‘penyelidikan tentang keaslian, hubungan, perkembangan, dan
sebagainya dari bahasa’.
Webster’s New International Dictionary menyatakan
bahwa filologi adalah ilmu bahasa dan studi tentang kebudayaan-kebudayaan
bangsa-bangsa yang beradab seperti diungkapkan terutama dalam bahasa, sastra,
dan agama mereka (Sutrisno, 1981: 8).
Groot Woordenboek der Nederlandse Taal dinyatakankan bahwa filologi adalah ilmu mengenai bahasa dan sastra
suatu bangsa, mula-mula berhubungan dengan bahasa dan sastra bangsa Yunani dan
Romawi, tetapi kemudian meluas kepada bahasa dan sastra bangsa lain seperti
bangsa Perancis, Spanyol, Portugis, Jerman, Belanda, Inggris, dan Slavia
(Sutrisno, 1981: 8).
Filologi juga diberi artian sebagai satu disiplin yang
berhubungan dengan studi terhadap hasil budaya manusia pada masa lampau
(Soeratno, 1990:1). Sedangkan Djamaris (1977: 20) menyatakan bahwa filologi
adalah suatu ilmu yang objek penelitiannya adalah manuskrip-manuskrip kuna.
Berbeda halnya dengan Bachtiar (1973: 1), yang memberikan batasan bahwa
filologi adalah pengetahuan mengenai naskah-naskah sastra. Di Indonesia, yang
dalam sejarahnya banyak dipengaruhi oleh bangsa Belanda, arti filologi mengikuti
penyebutan yang ada di negara Belanda, yaitu suatu disiplin yang mendasarkan
kerjanya pada bahan tertulis dan bertujuan mengungkapkan makna teks tersebut
dalam segi kebudayaan.
Filologi di Indonesia diterapkan pada teks-teks yang menggunakan
bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah, seperti bahasa Melayu, Aceh, Batak,
Minangkabau, Sunda, Jawa, Bali, Bugis, dan lain-lain. naskah yang mendukung
teks dalam bahasa-bahasa tersebut
terdapat pada kertas atau lontar.
Filologi dalam Kamus Istilah Filologi (1977: 27), didefinisikan
sebagai “ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan
kekhususannya, atau yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan
kesusastraannya”. Djamaris (1977: 20) memberikan pengertian yang lebih spesifik
mengenai filologi. Filologi diartikan sebagai suatu ilmu yang objek
penelitiannya adalah manuskrip-manuskrip kuna. Berdasarkan pendapat di atas,
dapat disimpulkan bahwa pengertian filologi
secara luas, adalah ilmu yang mempelajari perkembangan kebudayaan suatu
bangsa yang meliputi bahasa, sastra, seni, dan lain-lain. Perkembangan tersebut
dipelajari melalui hasil budaya manusia pada masa lampau berupa
manuskrip-manuskrip kuna yang kemudian diteliti, ditelaah, difahami, dan
ditafsirkan. Pengertian-pengertian filologi di atas, menggambarkan keluasan
jangkauan analisis filologi.
B.
Objek Penelitian
Filologi
Sasaran kerja penelitian filologi adalah naskah,
sedangkan objek kerjanya adalah teks (Baried, 1994: 6). Oleh karena itu, perlu
dibicarakan hal-hal mengenai seluk-beluk naskah dan teks.
1.
Pengertian naskah
Naskah merupakan objek kajian filologi
berbentuk riil, yang merupakan media penyimpanan teks. Baried (1994: 55),
berpendapat bahwa naskah adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan
pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau. Darusuprapta
(dalam Surono 1983: 1), memberikan definisi, bahwa naskah sering disamakan
dengan teks yang berasal dari bahasa Latin textua yang berarti ‘tulisan
yang mengandung isi tertentu’. Naskah juga dapat diberi pengertian sebagai
semua peninggalan tertulis nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit kayu,
dan rotan (Djamaris, 1977: 20). Naskah atau manuskrip, ditulis dengan
bahan-bahan yang beragam. Baried (1985: 6),
berpendapat bahwa bahan-bahan yang digunakan untuk menulis naskah antara
lain:
(1) karas yaitu papan atau batu tulis dengan alat yang dipakai untuk
menulisi tanah; (2) dluwang, atau kertas Jawa dari kulit kayu; (3) bambu yang
dipakai untuk naskah Batak; (4) kertas Eropa yang biasanya ada watermark atau
cap air.
Ismaun (1996: 4) menyatakan bahwa:
Naskah daerah seperti naskah Sunda dibuat dari daun lontar, janur,
daun enau, daun pandan, nipah, daluwang, dan kertas. Naskah Jawa pada
umumnya menggunakan lontar menggunakan bahan lontar (ron tal ‘daun tal’
atau ‘daun siwalan’), dluwang, yaitu kertas Jawa dari kulit kayu, dan
kertas. Sementara itu masih ada penggolongan jenis dluwang dan kertas
yang lebih rinci, seperti kertas gendong, kertas tela, kertas kop, dan kertas
bergaris. Bahan naskah (manuskrip) nampaknya tidak terbatas pada bahan-bahan
tersebut di atas, bahkan bahan naskah di wilayah nusantara lebih beragam
daripada di Jawa, seperti perkamen, kertas, bambu, lontar, kulit kayu, dan
lain-lain.
Keterangan di atas dapat memberikan
gambaran bahwa bahan naskah digolongkan dalam tiga golongan, antara lain: bahan
mentah dari bambu, kulit kayu, rontal dan daun palem lainnya. Bahan setengah
matang dengan proses sederhana, antara lain perkamen, dluwang, dan bahan
matang dengan proses sempurna seperti kertas Eropa. Kertas Eropa ini, pada abad
XVIII dan XIX mulai menggantikan dluwang karena kualitasnya lebih baik
untuk naskah di Indonesia. Alat yang digunakan untuk menulis naskah,
disesuaikan dengan bahan yang akan ditulisi. Bahan naskah mentah biasanya
menggunakan pisau seperti pengot di Jawa Barat dan pengutik di
Bali.
Naskah lama yang ditulis atau disalin
dengan tangan, dapat memberikan berbagai macam informasi mengenai naskah itu
sendiri maupun penulis dan penyalin naskah yang bersangkutan. Informasi
tersebut dapat dilihat dengan membandingkan: (1) keadaan tulisan. Tulisan yang
jelas, rapi, indah, dan tidak mengandung banyak kesalahan menunjukkan hasil
tulisan penulis atau penyalin yang berpengalaman, seperti penulis ahli pada
istana raja; (2) keadaan bahan naskah yang dapat digunakan sebagai gambaran
awal mengenai umur naskah (Soebadio, 1991: 4).
2.
Penggolongan Naskah
Keanekaragaman naskah tidak hanya
terdapat pada unsur fisik naskah seperti
keanekaragaman bahan yang digunakan untuk menulis naskah, jenis tinta yang
digunakan, keadaan tulisan naskah, dan lain-lain. Keanekaragaman juga terlihat
dalam jenis-jenis naskah yang ditulis. Sebagai contoh, misalnya penggolongan
naskah-naskah Jawa. Naskah Jawa sudah dikelompokkan dalam beberapa jenis.
Penjenisan naskah adalah pengelompokan naskah berdasarkan ragam-ragam tertentu
yang menjadi ciri kahas, sehingga berbeda dengan yang lain. Namun harus dimaklumi,
kadang-kadang tidak mudah untuk menentukan sebuah naskah termasuk jenis mana,
karena berbgai ragam yang dikandungnya.
Berikut ini adalah contoh-contoh
penjenisan naskah Jawa berdasarkan beberapa katalog dan pendapat para ahli:
Daftar yang disusun oleh Pigeaud (dalam
Soebadio 1991: 10) membagi naskah
menjadi beberapa macam, antara lain:
(1) naskah keagamaan yang meliputi berbagai jaman dan jenis atau
aliran agama dan kepercayaan; (2) naskah kebahasaan yang menyangkut ajaran
bahasa-bahasa daerah. Ada juga naskah yang memberi pengajaran bahasa yang
terselubung dengan memanfaatkan ajaran tata bahasa lewat cerita-cerita rakyat;
(3) naskah filsafat dan folklore; (4) naskah mistik rahasia, dalam hal ini
perlu diperhatikan secara khusus berbagai jenis naskah yang mengandung ajaran
filsafat dan mistik yang tidak dimaksudkan untuk umum, melainkan hanya
diajarkan kepada yang sudah termasuk kelompok “dalam” atau yang sudah dikenakan
“inisiasi”; (5) naskah mengenai ajaran dan pendidikan moral; (6) naskah
mengenai peraturan dan pengalaman hukum; (7) naskah mengenai keturunan dan
warga raja-raja; (8) bangunan dan arsitektur; (9) obat-obatan. Naskah tersebut
umumnya mengandung petunjuk mengenai ramuan obat-obatan tradisional yang
berdasarkan tumbuh-tumbuhan (jamu); terdapat juga naskah yang memberi petunjuk
mengenai cara pengobatan lewat jalan mistik, meditasi, yoga, dan sebagainya;
(10) perbintangan; (11) naskah mengenai ramalan; (12) naskah kesastraan, kisah
epik (kakawin) dan lain sebagainya; (13) naskah bersifat sejarah (babad), dan
sebagainya; (14) jenis-jenis lain yang
tidak tercakup dalam kategori-kategori di atas.
Girardet dan Soetanto (1983), mengelompokkan naskah
mula-mula dengan menggolongkan berdasarkan tempat
penyimpanannya. Misalnya di perpustakaan Kraton Surakarta, Pura Mangkunegaran,
Museum Radya Pustaka, Kraton Yogyakarta, Pura Pakualaman, Sanabudaya, dan
lain-lain. Kemudian dikelompokkan menurut jenis naskah, antara lain: (1) Chronicles,
Legends, and Myths; (2) Religion, Philosophy and Ethics; (3) Court
Affairs, Laws, Treaties and Regulations; (4) Text Books and Guides,
Dictionaries, and Encyclopaedias.
Behrend (1990: v-vii),mengelompokkan naskah
berdasarkan jenis sastranya, antara lain:
(1)
sejarah; (2) silsilah; (3)
hukum; (4) bab wayang; (5) sastra wayang; (6) sastra; (7) piwulang; (8) Islam;
(9) primbon; (10) bahasa; (11) musik; (12) tari-tarian; (13) adat-istidadat;
(14) lain-lain: teks-teks lain yang
tidak dimuat di bawah kategori-kategori lainnya.
Penjenisan Naskah
Jawa Berdasarkan Katalogus Naskah Verde antara lain:
(1) Puisi Epis; (2) Mitologi dan Sejarah
Legendaris; (3) Babad dan Kronik; (4) Cerita, Sejarah, dan Roman; (5) Karya-karya Dramatis, Wayang, Lakon; (6)
Karya-karya Kesusilaan dan Keagamaan; (7) Karya-karya Hukum, Kitab-kitab
Undang-undang; (8) Ilmu dan Pelajaran: Tata Bahasa, Perkamusan, Pawukun
(Astronomi), Sangkalan (Kronologi), Katuranggan; (9) Serba-serbi
Penjenisan Naskah
Jawa Berdasarkan Katalogus Naskah Juynboll:
(1) Prasasti-prasasti dan
Turunan-turunannya; (2) Syair Jawa Kuna (Kakawin); (3) Syair Jawa Pertengahan
dan Metrum Tengahan; (4) Syair Jawa Pertengahan dengan Metrum Macapat; (5) Syair Jawa Baru
dengan Metrum Macapat; (6) Prosa: Jawa
Kuna; Jawa Pertengahan; Jawa Baru.
Penjenisan Naskah
Jawa Berdasarkan Katalogus Brandes:
Katalogus Brandes terbit dalam empat jilid
(Brandes 1901, 1903, 1904, 1916). Penyajiannya tidak digolong-golongkan tetapi
dengan disusun berurutan mengikuti abjad
naskah. Jelasnya sebagai berikut: (1) Jilid I (1901) : Adigama sampai
dengan Ender; (2) Jilid II (1903) :
Gatotkacacarana dampai dengan
Putrupasaji; (3) Jilid III (1904) : Rabut Sakti sampai dengan Yusup; (4) Jilid IV (1916) : Naskah-naskah
tak berjudul.
Penjenisan Naskah
Jawa Berdasarkan Katalogus/ Daftar Naskah Poerbatjaraka:
Penjenisan naskah Jawa dalam
katalogus ini tidak dikelompok-kelompokkan, hanya disusun berdasarkan urutan
abjad naskah. Namun secara terpsisah sebenarnya Poerbatjarakan membuat uraian
khusus berdasarkan naskah-naskah Jawa yang
dikelompokkan penjenisannya sebagai berikut: (1) Naskah-naskah Panji;
(2) Naskah-naskah Menak; (3) Naskah-naskah Rengganis- Ambiya-Sastra Pesantren –
Suluk dan Primbon; (4) Kakawin; (5) Parwa; (6) Babad; (7) Kitab Undang-undang.
Khusus untuk penggolongan nomor 4 sampai dengan 7 hanya merupakan rencana
penggolongan naskah Jawa, tetapi samapai sekarang ini belum dapat terwujud.
Katalogus Ricklefs–VoorhoevRicklefs
dan Voorhoev menggolongkan naskah-naskah Jawa berdasarkan atas bahasa yang digunakan seara kronologis atau
dialektologis, sehingga terdapat penjenisan naskah Jawa sebagai berikut (1)
Naskah-naskah Jawa Baru; (2) Naskah-naskah Jawa Pertengahan; (3) Naskah-naskah
Jawa Kuna.
Naskah Jawa sendiri, jika
digolongkan berdasarkan kandungan isinya, menurut Pigeaud dalam Soebadio (1991:
10), antara lain adalah:
a.
Naskah Keagamaan yang meliputi berbagai jaman dan jenis atau aliran
agama dan kepercayaan.
b.
Naskah Kebahasaan yang menyangkut ajaran-ajaran bahasa-bahasa
daerah.
c.
Naskah Filsafat dan Folklore
d.
Naskah Mistik Rahasia
e.
Naskah mengenai ajaran dan pendidikan
moral
f.
Naskah mengenai peraturan dan
pengalaman hukum
g.
Naskah mengenai keturunan dan
warga raja-raja
h.
Naskah mengenai bagunan dan
arsitektur
i.
Naskah mengenai obat-obatan.
Naskah tersebut umumnya mengandung petunjuk mengenai ramuan obat-obatan tradisional
yang berdsarkan tumbuh-tumbuhan (jamu);
terdapat juga naskah yang memberi
petunjuk mengenai cara pengobatan lewat jalan mistik, meditasi, yoga, dan
lain-lain.
j.
Naskah mengenai arti
perbintangan. Naskah-naskah yang
bersangkutan lebih cenderung pada astrologi daripada astronomi.
k.
Naskah mengenai ramalan,
penjelasan impian, dan tanda-tanda yang
terdapat pada tubuh manusia, hewan, dan lain-lain.
l.
Naskah kesastraan, kisah epik
(kakawin), dan sebagainya. Naskah-naskah ini memberi informasi pula mengenai keadaan
negara dan alam pada jaman naskah disusun.
m.
Naskah bersifat Babad
(sejarah), dan lain-lain.
n.
Jenis-jenis lain yang tidak tercakup dalam kategori-kategori di
atas.
3.
Pengertian teks
Onions (dalam Darusuprapta 1984: 1),
mendefinisikan teks sebagai rangkaian kata-kata yang merupakan bacaan dengan
isi tertentu. Soeratno (1990: 4), menyebutkan bahwa teks merupakan informasi
yang terkandung dalam naskah, yang sering juga disebut muatan naskah. Ilmu yang
mempelajari tentang seluk-beluk teks disebut tekstologi, yang antara lain
meneliti penjelmaan dan penurunan teks sebuah karya sastra, penafsiran, dan
pemahamannya. Secara garis besar dapat disebutkan adanya tiga macam teks dalam
penjelmaan dan penurunannya, yaitu: (1) teks lisan (tidak tertulis); (2) teks
naskah (tulisan tangan); (3) teks cetakan (Baried, 1994: 58).
Pengertian naskah dan teks di atas dapat memberikan kesimpulan
mengenai perbedaan naskah dan teks. Naskah merupakan sesuatu yang konkret,
sedangkan teks menunjukkan pengertian sebagai sesuatu yang abstrak. Teks
merupakan kandungan atau muatan naskah, sedang naskah sendiri merupakan alat
penyimpanannya.
C.
Tujuan Filologi
Tujuan studi filologi dibagi menjadi dua, yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus. Tujuan umum filologi yaitu: (1) memahami sejauh mungkin
kebudayaan suatu bangsa melalui hasil sastranya, baik lisan maupun tertulis;
(2) memahami makna dan fungsi teks bagi masyarakat penciptanya; (3)
mengungkapkan nilai-nilai budaya lama sebagai alternatif pengembangan
kebudayaan. Sedangkan tujuan khususya adalah: (1) menyunting sebuah naskah yang
dipandang paling dekat dengan teks aslinya; (2) mengungkap sejarah terjadinya
teks dan sejarah perkembangannya; (3) mengungkap resepsi pembaca setiap kurun
penerimaannya.
Secara khusus,
studi filologi sebagai suatu disiplin ilmu, mempunyai tujuan kerja tertentu.
Tujuan kerja filologi tersebut pada dasarnya bertitik tolak dari adanya
berbagai bentuk variasi teks (Soeratno, 1990: 3). Cara pandang mengenai
bentuk-bentuk variasi tersebut kemudian melahirkan dua konsep penelitian
filologi, yaitu konsep filologi tradisional dan konsep filologi modern.
Masing-masing konsep ini memiliki dua tujuan yang berbeda. Konsep filologi
tradisional, memandang variasi secara negatif (sebagai bentuk korup). Oleh
karena itu, penelitian filologi dengan konsep ini bertujuan untuk menemukan
bentuk asli atau bentuk mula teks, maupun yang paling dekat dengan bentuk mula
teks (Baried, 1994: 6-7).
Arti filologi di Indonesia mengikuti arti yang
tradisional yaitu filologi yang menitikberatkan penelitiannya kepada bacaan
yang rusak. Namun dalam perkembangannya mengarah pada pengertian filologi
modern, yaitu studi filologi yang memandang bahwa perbedaan-perbedaan yang ada
dalam berbagai naskah tersebut sebagai justru sebagai alternatif yang positif.
Varian-varian tersebut dipandang sebagai pengungkapan kegiatan yang kreatif
untuk memahami teks, menafsirkannya, membetulkan jika dipandang tidak tepat,
mengaitkan dengan ilmu bahasa, sastra, budaya, keagamaan, tata politik yang ada
pada zamannya. Dalam pandangan ini naskah dipandang sebagai dokumen budaya,
sebagai refleksi dari zamannya.
D.
Tempat Penyimpanan
Naskah Nusantara
Naskah yang memiliki keanekaragaman
jenis tersebut berjumlah sangat banyak. Sebagian naskah tersimpan di bagian
pernaskahan Perpustakaan Nasional Jakarta, gedung Kirtya Singaraja, Perpustkaan
Sanapustaka Kraton Surakarta, Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran
Surakarta, dan Perpustakaan Museum Radya Pustaka Surakarta, Perpustakaan
Fakultas Sastra UI, UNS, dan beberapa pemerintah daerah misalnya Banyuwangi,
dan Sumenep, perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Balai
Penelitian Bahasa, Jarahnitra, Rumah budaya Tembi Yogyakarta, Tepas Kapujanggan
Widyabudaya Kasultanan Yogyakarta, Perpustakaan Pura Pakualaman, Museum
Sanabudaya, Dewantara Kŗti Griya, perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM, dan
lain-lain. “Selain dimiliki oleh beberapa lembaga milik pemerintah maupun
swasta, sebagian naskah lainnya masih tersimpan dalam koleksi pribadi yang
tersebar luas di segala lapisan masyarakat” (Darusuprapta, 1991: 2-3).
Kecuali di Indonesia, naskah-naskah teks
Nusantara juga tersimpan di museum-museum luar negeri. Misalnya di Malaysia,
Singapura, Brunai, Srilanka, Thailand, Mesir, Inggris, Jerman, Rusia, Austria,
Hongaria, Swedia, Afrika, Belanda, Irlandia, Amerika Serikat, Swiss, Denmark,
Norwegia, Polandia, Chekoslowakia, Spanyol, Italia, Perancis, Belgia, dan
lain-lain.
daftar pustakanya kok gak ada kak?
Izin copy artikel nya untuk mempelajari istilah nya.